DI BALIK JANJI Rp8 JUTA: ADA CERITA KORUPSI DANA BENCANA SAMOSIR DAN KEBIJAKAN PUSAT YANG TERSELIPKAN KEPAHITAN
PANGURURAN [puKImakNews] — Ketika pemerintah pusat menggulirkan kebijakan bantuan langsung tunai Rp8 juta per keluarga bagi korban bencana di Sumatera sebagai upaya pemulihan ekonomi, sebagian warga korban justru melihat realitas yang pahit di daerah mereka sendiri. Seharusnya kebijakan ini menjadi angin segar bagi ribuan kepala keluarga yang rumahnya luluh lantak akibat banjir dan longsor. Namun, harapan itu tercabik ketika salah satu pejabat daerah justru menjadi tersangka kasus korupsi bantuan bencana.
Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa setiap keluarga terdampak akan menerima minimal Rp8 juta, terdiri dari Rp3 juta untuk kebutuhan rumah tangga dan Rp5 juta untuk pemulihan ekonomi pascabencana. Angka ini dilengkapi dengan bantuan beras, uang lauk pauk bulanan, hingga pembangunan hunian sementara.
Janji itu hadir sebagai respon atas bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menewaskan ratusan jiwa dan memporak-porandakan ribuan rumah. Bantuan tunai yang dipastikan turun diharapkan bisa menjadi penopang ekonomi keluarga yang terdampak, serta tanda hadirnya negara di saat masyarakat paling membutuhkan.
Namun, di Samosir, ada cerita untuk kita belajar. Dana bantuan yang seharusnya menjadi angin segar pemulihan justru diduga diselewengkan oleh Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa, Fitri Agus Karokaro. Kejaksaan Negeri Samosir menyatakan bahwa ia telah dihadapkan pada status tersangka dalam kasus dugaan korupsi bantuan bencana tahun 2024 yang bersumber dari dana Kemensos senilai Rp1,5 miliar. Dari jumlah itu, dinyatakan terjadi kerugian negara mencapai lebih dari Rp516 juta akibat penyimpangan penyaluran.
Apa yang terjadi di Samosir bukan sekadar kelalaian administrasi. Dalam konstruksi perkara, ada dugaan bahwa Fitri Agus mengubah mekanisme penyaluran bantuan dari rencana semula berupa cash transfer menjadi bantuan barang yang diperoleh dari BUMDes tertentu. Diduga pula ia meminta potongan hingga 15 persen dari nilai bantuan untuk keuntungan pribadi dan pihak lain.
Perbuatan itu kini berujung pada penahanan selama 20 hari di Lapas Kelas III Pangururan dan jeratan hukum berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi — pasal yang memberi ancaman pidana berat terhadap tindak pidana korupsi, termasuk hukuman penjara bertahun-tahun dan kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara.
Celah tragedi ini terasa semakin dalam ketika kebijakan pusat yang seharusnya menjadi ramuan pemulihan sosial-ekonomi justru terganggu oleh praktik yang merampas hak warga yang dilanda derita.
Bagi masyarakat korban banjir di Samosir yang harusnya menerima manfaat dari kebijakan pusat, kasus ini menjadi lebih dari sekadar berita hukum, ia adalah cermin pahit mengenai bagaimana bantuan negara bisa terseret oleh konflik kepentingan.
Kebijakan pemerintah pusat masih diharapkan menjadi penyelamat bagi ribuan korban bencana lain di Sumatera. Namun di Samosir, pertanyaan besar tetap bergema: sejauh mana janji bantuan Rp8 juta itu benar-benar akan dirasakan oleh warga yang membutuhkan? Dan apakah negara melalui hukum akan benar-benar menegakkan keadilan bagi mereka yang dirugikan oleh sejuta harapan yang terselip janji dan praktik korup? [mgo281176]

Posting Komentar